Budaya sunat perempuan sudah ada jauh sebelum Islam turun. Fakta : sunat perempuan tidak dipraktekkan di negara-negara Islam seperti Saudi Arabia atau Lebanon misalnya. Budaya FGM (Female Genital Mutilation) atau juga disebut Female Genital Cutting, merupakan adat budaya kuno ribuan tahun lalu, yang masih berurat akar dan berlangsung sampai saat ini khususnya di negara-negara Afrika, seperti Mesir (terutama daerah Upper Mesir), Somalia, Sudan, Ghana, dan sedikit daerah di semenanjung Arab seperti minoritas di Syiria, Turki, dan Iraq.
Pelakunya bukan saja masyarakat muslim tetapi juga masyarakat agama lainnya. Seperti di Ghana yang mayoritas beragama Nasrani, dimana praktek sunat perempuan juga dilakukan di kalangan umat Nasrani. Di Mesir sendiri, diperkirakan sekitar 90% perempuan melakukan praktek sunat, alasan yang dikemukakan adalah untuk kebaikan anak perempuan dan juga sebagai perlindungan terhadap perempuan. Pemuka agama setempat jelas-jelas membantah jika dikatakan bahwa sunat perempuan merupakan budaya Islam. Walau ada juga pemuka agama yang pro bahkan mengeluarkan fatwa bahwa sunat bagi laki-laki dan perempuan adalah wajib.
Sunat yang ada di Mesir memang dikatakan masih bisa ditoleransi karena hanya memotong 'sedikit' bagian organ intim seorang anak perempuan. FGM sendiri ada empat type dari yang ringan yaitu sedikit melukai sampai yang sangat berat yaitu infabulation atau pemotongan clitoris total yang kadang-kadang menimbulkan penderitaan yang maha hebat bagi si anak perempuan, dan seringkali menyebabkan trauma psikology si anak sampai dewasa. Seperti apa yang diungkap Dirie dalam bukunya yang mewawancari beberapa korban FGM, serta pengalaman pribadi, korban FGM akan mengalami kesulitan menstruasi, sakit di saat kencing. atau saat melakukan hubungan seksual dan ketika melahirkan. Jeritan yang menyayat meregang nyawa menahan sakit maha hebat menjadi mimpi buruk tersendiri. Banyak korban yang selama hidupnya dihantui oleh mimpi buruk peristiwa penyunatan dirinya yang tidak manusiawi.
Pelakunya bukan saja masyarakat muslim tetapi juga masyarakat agama lainnya. Seperti di Ghana yang mayoritas beragama Nasrani, dimana praktek sunat perempuan juga dilakukan di kalangan umat Nasrani. Di Mesir sendiri, diperkirakan sekitar 90% perempuan melakukan praktek sunat, alasan yang dikemukakan adalah untuk kebaikan anak perempuan dan juga sebagai perlindungan terhadap perempuan. Pemuka agama setempat jelas-jelas membantah jika dikatakan bahwa sunat perempuan merupakan budaya Islam. Walau ada juga pemuka agama yang pro bahkan mengeluarkan fatwa bahwa sunat bagi laki-laki dan perempuan adalah wajib.
Sunat yang ada di Mesir memang dikatakan masih bisa ditoleransi karena hanya memotong 'sedikit' bagian organ intim seorang anak perempuan. FGM sendiri ada empat type dari yang ringan yaitu sedikit melukai sampai yang sangat berat yaitu infabulation atau pemotongan clitoris total yang kadang-kadang menimbulkan penderitaan yang maha hebat bagi si anak perempuan, dan seringkali menyebabkan trauma psikology si anak sampai dewasa. Seperti apa yang diungkap Dirie dalam bukunya yang mewawancari beberapa korban FGM, serta pengalaman pribadi, korban FGM akan mengalami kesulitan menstruasi, sakit di saat kencing. atau saat melakukan hubungan seksual dan ketika melahirkan. Jeritan yang menyayat meregang nyawa menahan sakit maha hebat menjadi mimpi buruk tersendiri. Banyak korban yang selama hidupnya dihantui oleh mimpi buruk peristiwa penyunatan dirinya yang tidak manusiawi.
Praktek Infabulation/infibulation atau juga biasa disebut Pharaonic Circumsicion. adalah the most severe type of circumsicion. Infibulation berasal dari Mesir kuno khususnya daerah upper Egypt. FGM merupakan bagian dari puberty rites di negara-negara Sub Saharan. Fenomena Infabulation/infibulation pertama kali dilaporkan oleh Strabo bermula sekitar 3100 BC walau asal muasalnya sampai sekarang masih diperdebatkan. Biasanya seorang anak perempuan menjelang masa pubertas, sekitar usia 10-12 tahun atau di negara-negara tertentu dilakukan saat usia sangat dini yaitu sekiitar 5-10 tahun, akan menjalani proses infabulation tersebut.
Di masyarakat rural area, praktek biasanya dilakukan oleh para dukun tradisonal yang memotong, dengan alat-alat yang tidak higienis seperti penggunaan pisau cukur atau belah bambu yang ditajamkan, dan semua ini dilakukan tanpa obat bius, sehingga setiap irisan dan potongan daging yang lepas bisa dirasakan dengan jelas oleh si anak . Tidak heran banyak kasus ditemukan anak perempuan yang meninggal karena pendarahan hebat atau infeksi. Anak perempuan yang menjalani pemotongan alat organ intim baik yang bagian labia minor maupun labia mayor yang kemudian dijahit rapat dan hanya menyisakan sebuah lubang kecil untuk kencing dan jalan darah menstruasi saja, sehingga bentuknya menjadi datar dan rata mulus dan nampak bukan seperti kelamin wanita pada umumnya.
Di Afrika ada keyakina bahwa gadis yang tidak disunat akan tidak laku kawin, dan inilah yang menjadi momok tersendiri bagi para ibu yang mempunyai anak gadis. Uniknya para lelaki lebih mengambil sikap cuek dan tidak peduli atas penderitaan kaum wanita karena mereka menganggap bahwa FGM adalah budaya turun temurun mereka dan FGM mutlak urusan perempuan, laki-laki hanya pemberi blessing. Di dalam bukunya Dirie mengungkap dari sekian laki-laki yang berasal dari budaya FGM, yang sempat diwawancarai, hampir semua mengatakan mereka tidak tahu menahu tentang traumatis sunat perempuan.
Di masyarakat rural area, praktek biasanya dilakukan oleh para dukun tradisonal yang memotong, dengan alat-alat yang tidak higienis seperti penggunaan pisau cukur atau belah bambu yang ditajamkan, dan semua ini dilakukan tanpa obat bius, sehingga setiap irisan dan potongan daging yang lepas bisa dirasakan dengan jelas oleh si anak . Tidak heran banyak kasus ditemukan anak perempuan yang meninggal karena pendarahan hebat atau infeksi. Anak perempuan yang menjalani pemotongan alat organ intim baik yang bagian labia minor maupun labia mayor yang kemudian dijahit rapat dan hanya menyisakan sebuah lubang kecil untuk kencing dan jalan darah menstruasi saja, sehingga bentuknya menjadi datar dan rata mulus dan nampak bukan seperti kelamin wanita pada umumnya.
Di Afrika ada keyakina bahwa gadis yang tidak disunat akan tidak laku kawin, dan inilah yang menjadi momok tersendiri bagi para ibu yang mempunyai anak gadis. Uniknya para lelaki lebih mengambil sikap cuek dan tidak peduli atas penderitaan kaum wanita karena mereka menganggap bahwa FGM adalah budaya turun temurun mereka dan FGM mutlak urusan perempuan, laki-laki hanya pemberi blessing. Di dalam bukunya Dirie mengungkap dari sekian laki-laki yang berasal dari budaya FGM, yang sempat diwawancarai, hampir semua mengatakan mereka tidak tahu menahu tentang traumatis sunat perempuan.
FGM, dilatarbelakangi oleh adat semenjak jaman pagan demi menjaga kesucian seorang wanita supaya masih tetap perawan sampai menjelang pernikahannya serta untuk mencegah seorang wanita menjadi binal dan melakukan pre-marital sex. Ironisnya ada sebagian perempuan-perempuan yang mengalami FGM memang benar-benar pengen tetap perawan terus, artinya rela organ intimnya dijahit kembali, sehingga ketika habis melahirkan dia akan meminta dokter untuk kembali menjahit rapat-rapat. Bahkan praktek re-infabulation ditemui juga di London, Paris atau Viena. Dokter terpaksa melakukan permintaan ini lebih ke alasan medis karena jika sehabis melahirkan tidak di-infabulasi lagi, makan sang ibu akan banyak sekali kehilangan darah dan bisa mengakibatkan kematian.
Menurut riset yang dilakukan oleh Dirie, pada umumnya yang terjadi di negara-negara Eropa, wanita dengan infabulasi melahirkan dengan cessarian. Dan dewasa ini di kota-kota tersebut sudah banyak organisasi yang bertujuan membantu para imigran korban FGM serta memberi penerangan kepada kaum lelaki tentang seluk beluk FGM. Walau dalam kenyataannya, praktek FGM masih tetap berlangsung dan dilakukan dengan cara-cara tersembunyi. Biasanya desakan pihak keluraga di kampung dari negara mereka berasal menjadi motivasi utama mengapa praktek FGM masih ada. Kenyataannya di jaman yang sudah modern ini, tidak semudah membalikkan tangan untuk mengubah mind set yang sudah beruat akar, walau dari pihak perempuan korban FGM, rata-rata mereka tidak mau anaknya mengalamai hal serupa seperti dirinya.
Seorang Ulama tinggi di Mesir menyatakan bahwa praktik FGM bukan dari Islam dan mendorong pemerintah setempat untuk segera mengakhiri praktek FGM. Diperkirakan sekitar 100 sampai 140 juta perempuan yang ada di dunia ini, mengalami proses sunat. Dengan rata-rata 4 gadis per menit. Sungguh angka yang fantastis! Lebih kejam lagi, perempuan yang menjlani proses infibulation ketika menikah dan pada malam pertama, maka untuk membuka "jalan", pengantin laki-laki kadang menggunakan pisau untuk merobek dan membuat lubang, karena jika tidak demikian hampir mustahil bisa melakukan hubungan intim. Ini juga merupakan trauma hebat tersendiri bagi perempuan korban FGM. Dan karena clitoris dibabat habis, bisa dipastikan perempuan korban FGM tidak pernah bisa menikmati hubungan intim. Di London, Berlin, Paris dan Viena, banyak wanita muda menjelang menikah memilih pergi ke klinik-klinik pribadi dan meminta dokter untuk de-infabualted atau membuka jahitan organ intimnya dan memperbaikinya senormal mungkin.
Menurut riset yang dilakukan oleh Dirie, pada umumnya yang terjadi di negara-negara Eropa, wanita dengan infabulasi melahirkan dengan cessarian. Dan dewasa ini di kota-kota tersebut sudah banyak organisasi yang bertujuan membantu para imigran korban FGM serta memberi penerangan kepada kaum lelaki tentang seluk beluk FGM. Walau dalam kenyataannya, praktek FGM masih tetap berlangsung dan dilakukan dengan cara-cara tersembunyi. Biasanya desakan pihak keluraga di kampung dari negara mereka berasal menjadi motivasi utama mengapa praktek FGM masih ada. Kenyataannya di jaman yang sudah modern ini, tidak semudah membalikkan tangan untuk mengubah mind set yang sudah beruat akar, walau dari pihak perempuan korban FGM, rata-rata mereka tidak mau anaknya mengalamai hal serupa seperti dirinya.
Seorang Ulama tinggi di Mesir menyatakan bahwa praktik FGM bukan dari Islam dan mendorong pemerintah setempat untuk segera mengakhiri praktek FGM. Diperkirakan sekitar 100 sampai 140 juta perempuan yang ada di dunia ini, mengalami proses sunat. Dengan rata-rata 4 gadis per menit. Sungguh angka yang fantastis! Lebih kejam lagi, perempuan yang menjlani proses infibulation ketika menikah dan pada malam pertama, maka untuk membuka "jalan", pengantin laki-laki kadang menggunakan pisau untuk merobek dan membuat lubang, karena jika tidak demikian hampir mustahil bisa melakukan hubungan intim. Ini juga merupakan trauma hebat tersendiri bagi perempuan korban FGM. Dan karena clitoris dibabat habis, bisa dipastikan perempuan korban FGM tidak pernah bisa menikmati hubungan intim. Di London, Berlin, Paris dan Viena, banyak wanita muda menjelang menikah memilih pergi ke klinik-klinik pribadi dan meminta dokter untuk de-infabualted atau membuka jahitan organ intimnya dan memperbaikinya senormal mungkin.
Bagaimana di Indonesia...
Menurut beberapa sumber, seperti Kompas beberapa tahun lalu, ternyata praktek sunat perempuan juga berlaku di masyarakat kita. Sebuah riset yang dilakukan oleh Population Council diketahui dari enam provinsi yang ada di Indonesia yaitu, Sumatra Barat, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Gorontalo, selama 18 bulan Oktober 2001 sampai Maret 2003 menunjukkan adanya medikalisasi sunat perempuan, walau tidak sebrutal dan sekejam seperti yang terjadi di Sudan atau Somalia, namun masyarakat banyak yang percaya bahwa sunat perempuan adalah adat Islam, hal ini ditegaskan dengan adanya salah satu hadis nabi yang dipercaya ada yang menyatakan perihal sunat perempuan.
Hadis tersebut menyebutkan bahwa sunat perempuan adalah sunnah nabi dan dilakukan hanya dengan memotong sangat sedikit bagian organ intim perempuan (bagian kulit penutup clitoris) demi kesehatan dan juga kenikmatan sexual yang bisa dicapai seorang perempuan, (mempercantik seorang perempuan dan juga sebagai kehormatan bagi laki-laki)
Menurut beberapa sumber, seperti Kompas beberapa tahun lalu, ternyata praktek sunat perempuan juga berlaku di masyarakat kita. Sebuah riset yang dilakukan oleh Population Council diketahui dari enam provinsi yang ada di Indonesia yaitu, Sumatra Barat, Banten, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Gorontalo, selama 18 bulan Oktober 2001 sampai Maret 2003 menunjukkan adanya medikalisasi sunat perempuan, walau tidak sebrutal dan sekejam seperti yang terjadi di Sudan atau Somalia, namun masyarakat banyak yang percaya bahwa sunat perempuan adalah adat Islam, hal ini ditegaskan dengan adanya salah satu hadis nabi yang dipercaya ada yang menyatakan perihal sunat perempuan.
Hadis tersebut menyebutkan bahwa sunat perempuan adalah sunnah nabi dan dilakukan hanya dengan memotong sangat sedikit bagian organ intim perempuan (bagian kulit penutup clitoris) demi kesehatan dan juga kenikmatan sexual yang bisa dicapai seorang perempuan, (mempercantik seorang perempuan dan juga sebagai kehormatan bagi laki-laki)
Y, Allah sadis amat C. untung bgt di Indonesia gk ada yg kyak gitu. amit2...........
BalasHapus